Toraja , Sulawesi Selatan, 8 jam perjalanan darat menggunakan Bus dari
Kota Makassar . Daerah yang kental dengan Adat istiadatnya .
singkat saja gan,sedikit benang merah dari ritual ini adalah tradisi
mengenang Leluhur,dimana setiap mayat Leluhur yang bertahun-tahun sudah
dikuburkan akan kembali di "buka" dari kuburan,dibersihkan serta diberi
pakaian yang baru .
mungkin link berikut lebih detail :
http://www.facebook.com/notes/tongko...5976756?ref=nf
MA' NENE, TRADISI MENGENANG LELUHUR
Tana Toraja: Kabut tipis
menyelimuti pegunungan Balla, Kecamatan Baruppu, Tana Toraja, Sulawesi
Selatan, pertengahan Agustus silam. Namun, kabut tersebut perlahan mulai
tersibak dinginnya angin pagi. Hari ini, kesibukan luar biasa terjadi
pada setiap penghuni warga Baruppu. Mereka tengah menggelar sebuah
ritual di tempat awal mula sejarah dan misteri anak manusia yang
mendiami Kecamatan Baruppu. Ritual yang selalu digelar seluruh warga
Baruppu untuk melaksanakan amanah leluhur. Ma`nene, sebuah tradisi
mengenang para leluhur, saudara, dan handai taulan lainnya yang sudah
meninggal dunia.
Kisah Ma`nene bermula dari seorang pemburu
binatang bernama Pong Rumasek, ratusan tahun lampau. Ketika itu, dirinya
berburu hingga masuk kawasan hutan pegunungan Balla. Di tengah
perburuannya, Pong Rumasek menemukan jasad seseorang yang meninggal
dunia, tergeletak di tengah jalan di dalam hutan lebat. Mayat itu,
kondisinya mengenaskan. Tubuhnya tinggal tulang belulang hingga
menggugah hati Pong Rumasek untuk merawatnya. Jasad itu pun dibungkus
dengan baju yang dipakainya, sekaligus mencarikan tempat yang layak.
Setelah dirasa aman, Pong Rumasek pun melanjutkan perburuannya.
Sejak
kejadian itu, setiap kali dirinya mengincar binatang buruan selalu
dengan mudah mendapatkannya, termasuk buah-buahan di hutan. Kejadian
aneh kembali terulang ketika Pong Rumasek pulang ke rumah. Tanaman
pertanian yang ditinggalkannya, rupanya panen lebih cepat dari waktunya.
Bahkan, hasilnya lebih melimpah. Kini, setiap kali dirinya berburu ke
hutan, Pong Rumasek selalu bertemu dengan arwah orang mati yang pernah
dirawatnya. Bahkan, arwah tersebut ikut membantu menggiring binatang
yang diburunya.
Pong Rumasek pun berkesimpulan bahwa jasad orang
yang meninggal dunia harus tetap dimuliakan, meski itu hanya tinggal
tulang belulangnya. Maka dari itu, setiap tahun sekali sehabis panen
besar di bulan Agustus, setiap penduduk Baruppu selalu mengadakan
Ma`nene, seperti yang diamanatkan leluhurnya, mendiang Pong Rumasek.
Bagi
masyarakat Baruppu, ritual Ma`nene juga dimaknai sebagai perekat
kekerabatan di antara mereka. Bahkan Ma`nene menjadi aturan adat yang
tak tertulis yang selalu dipatuhi setiap warga. Ketika salah satu
pasangan suami istri meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggal mati
tak boleh kawin lagi sebelum mengadakan Ma`nene. Mereka menganggap
sebelum melaksanakan ritual Ma`nene status mereka masih dianggap
pasangan suami istri yang sah. Tapi, jika sudah melakukan Ma`nene, maka
pasangan yang masih hidup dianggap sudah bujangan dan berhak untuk kawin
lagi.
Meski warga Baruppu termasuk suku Toraja. Tapi, ritual
Ma`nene yang dilakukan setiap tahun sekali ini adalah satu-satunya
warisan leluhur yang masih dipertahankan secara rutin hingga kini.
Kesetiaan mereka terhadap amanah leluhur melekat pada setiap warga desa.
Penduduk Baruppu percaya jika ketentuan adat yang diwariskan dilanggar
maka akan datang musibah yang melanda seisi desa. Misalnya, gagal panen
atau salah satu keluarga akan menderita sakit berkepanjangan.
Dalam
bahasa Bugis, Toraja diartikan sebagai orang yang berdiam di negeri
atas atau pegunungan. Namun, masyarakat Toraja sendiri lebih menyukai
dirinya disebut sebagai orang Maraya atau orang keturunan bangsawan yang
bernama Sawerigading. Berbeda dengan orang Toraja pada umumnya,
masyarakat Baruppu lebih mengenal asal usulnya dari Ta`dung Langit atau
yang datang dari awan.
Lama kelamaan Ta`dung Langit yang menyamar
sebagai pemburu ini menetap di kawasan hutan Baruppu dan kawin dengan
Dewi Kesuburan Bumi. Karena itu, sering terlihat ketika orang Toraja
meninggal dunia, mayatnya selalu dikuburkan di liang batu. Tradisi
tersebut erat kaitannya dengan konsep hidup masyarakat Toraja bahwa
leluhurnya yang suci berasal dari langit dan bumi. Maka, tak semestinya
orang yang meninggal dunia, jasadnya dikuburkan dalam tanah. Bagi mereka
hal itu akan merusak kesucian bumi yang berakibat pada kesuburan bumi.
Kali
ini, keluarga besar Tumonglo melakukan ritual Ma`nene, seperti
tahun-tahun sebelumnya. Sejak pagi, keluarga ini sudah disibukkan
serangkaian kegiatan ritual yang diawali dengan memotong kerbau dan
babi. Bagi keluarga Tumonglo maupun sebagian besar masyarakat Toraja
lainnya pesta adalah bagian yang tak terpisahkan setiap kali menghormati
orang yang akan menuju nirwana. Meski mereka sudah banyak yang menganut
agama-agama samawi, adat dan tradisi yang diwariskan para leluhurnya
ini tak mudah ditinggalkan.
Kini, tiba saatnya keluarga Tumonglo
menjalani ritual inti dari Ma`nene. Di bawah kuburan tebing batu Tunuan
keluarga ini berkumpul menunggu peti jenazah nenek Biu--leluhur keluarga
Tumonglo yang meninggal dunia setahun lalu--diturunkan. Tak jauh dari
tebing, kaum lelaki saling bergandengan tangan membentuk lingkaran
sambil melantunkan Ma`badong. Sebuah gerak dan lagu yang melambangkan
ratapan kesedihan mengenang jasa mendiang yang telah wafat sekaligus
memberi semangat pada keluarga almarhum.
Bersamaan dengan itu,
peti jenazah pun mulai diturunkan dari lubang batu secara
perlahan-lahan. Peti kusam berisi jasad nenek Biu. Keluarga Tumonglo
mempercayai bahwa ada kehidupan kekal setelah kematian. Sejatinya
kematian bukanlah akhir dari segala risalah kehidupan. Karena itu,
menjadi kewajiban bagi setiap keluarga untuk mengenang dan merawat jasad
leluhurnya meski sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Dalam
ritual ini, jasad orang mati dikeluarkan kembali dari tempatnya.
Kemudian, mayat tersebut dibungkus ulang dengan lembaran kain baru oleh
masing-masing anak cucunya.
Di desa Bu`buk, suasananya tak jauh
beda dengan desa lainnya di Kecamatan Baruppu. Di tempat ini keluarga
besar Johanes Kiding juga akan melakukan Ma`nene terhadap leluhurnya
Ne`kiding. Sebelum ke kuburan, masyarakat dan handai taulan berkumpul di
pelataran desa di bawah deretan rumah tradisional khas Toraja,
Tongkonan.
Pagi itu, mereka disuguhi makanan khas daging babi
oleh keluarga besar Johanes untuk disantap beramai-ramai. Setelah
selesai, masyarakat, dan handai taulan keluarga Johanes mulai berangkat
menuju kuburan nenek moyang. Namun, kuburan yang dituju bukan liang batu
seperti umumnya, melainkan Pa`tane yakni rumah kecil yang digunakan
untuk menyimpan jasad para leluhur mereka.
Acara dilanjutkan
dengan membuka dua peti yang berisi jasad leluhur. Mayat yang sudah
meninggal setahun yang lalu itu dibungkus ulang dengan kain baru.
Perlakuan itu diyakini atas rasa hormat mereka pada leluhur semasa
hidup. Mereka yakin arwah leluhur masih ada untuk memberi kebaikan.
Dalam setiap Ma`nene, jasad orang yang meninggal pantang diletakkan di
dasar tanah. Karena itu, para sanak keluarga selalu menjaganya dengan
memangku jasad leluhurnya. Tak ayal, tangis kepiluan kembali merebak.
Mereka meratapi leluhurnya sambil menyebut-nyebut namanya. Jasad yang
sudah dibungkus kain baru pun dimasukkan kembali ke dalam rumah Pa`tane.
Kini, keluarga Johanes pun telah selesai melaksanakan amanah leluhur.
(ORS/Tim Potret)
sUMBER :
http://berita.liputan6.com/progsus/200508/107595/class=%27vidico%27DAN APAKAH MAYAT YANG DAPAT BERJALAN FAKTA ATAU FIKSI ?
ARTIKEL KERBAU BELANG (Tedong Bonga),
MAYAT BERJALAN
DAN TUAK ( Ballo) DI TORAJA
Artikel
berikut ini sangat jadul, dibuat pada 19 Februari 1972. Seseorang
menulis pengalamannya, keunikan kerbau dan tuak (ballo) di kalangan suku
Toraja di Sulawesi Selatan.
Kerbau bule (bulai = putih) terdapat
dibanjak tempat, tapi kerbau belang hanja ada di Toradja. Dan bagaikan
andjing poodle atau kutjing Angora, kerbau bule jang berbelang hitam itu
merupakan status simbol bagi pemiliknja. Bila binatang terhormat ini
ada disawah, maka ia tidak akan dibiarkan merumput sendiri, tapi sambil
makan dituntun dengan seksama. Kalau kebetulan ada kerbau belang jang
kelihatan membadjak sawah (dalam pengertian menghantjurkan tanah) maka
itu pasti kerbau belang betina. Akan kerbau belang djantan tidak ada
kerdjanja selain daripada makan dan tidur jang sempurna. Untuk tugas ini
ia dihargai 10 x harga kerbau biasa. Selain dari keanehannja (diseluruh
dunia, kerbau belang hanja terdapat di Toradja) maka djumlahnja jang
terbatas (tidak setiap kerbau belang melahirkan anak jang djuga belang)
sangat menentukan nilai dan harga binatang ini. Namun demikian tidak
semua kerbau belang dinilai setaraf dan dihargai sama.
Ketika
Gubernur Lamo ingin membeli sepasang kerbau belang untuk dipersembahkan
kepada Presiden Soeharto, maka seorang ahli Toradja telah ditugaskan
untuk mentjari kerbau belang djantan istimewa jang konon harus memenuhi
beberapa sjarat djasmaniah. Pertama ekornja harus pandjang kedua harus
ada alis hitam melintang diatas kedua matanja (binatang mana gerangan
jang punja alis?) ketiga matanja harus sangat bening, hitamnja-hitam dan
putihnja putih keempat, pusarnja membentuk sesuai dengan garis-garis
jang ditentukan. Arkian, dengan susah pajah kerbau belang istimewa itu
dapat ditemukan djuga dan harganja: sang djantan Rp 165.000, sang betina
Rp 30.000. Sekarang sepasang binatang terhormat itu dipelihara di
Bogor, tapi orang-orang Toradja mengchawatir kan kesehatan mereka.
"Salah-salah urus, bisa kurus", kata Sekretaris Daerah Toradja, Drs
Randa MTB. Apa jang dikatakannja dapat dimaklumi mengingat kerbau,
melebihi jang lain merupakan binatang kesajangan penduduk. "Ternak ini
dipelihara untuk kebutuhan sosial dan budaja", udjar bupati Abner
Tampubolon. Menurut dia malah disana ada kerbau jang tidak bertanduk,
dan kalau itu benar maka binatang djenis ini tidak dapat ditjari
ditempat lain ketjuali di Sulawesi. Anti Busuk. Seolah keanehan kerbau
tidak tjukup, alam masih melimpahkan beberapa mukdjizat ketjil lainnja
bagi Tana Toradja.
Konon disebuah gua di desa Sillanang sedjak
tahun 1905 telah ditemukan majat manusia jang utuh, tidak busuk sampai
sekarang. Majat itu tidak dibalsem seperti jang dilakukan orang-orang
Mesir Purba bahkan tidak diberi ramuan apapun. Tapi bisa tetap utuh.
Menurut pendapat Tampubolon, kemungkinan ada sematjam zat digua itu jang
chasiatnja bisa mengawetkan majat manusia. Kalau sadja ada ahli geologi
dan kimia jang mau membuang waktu menjelidiki tempat itu, agaknja teka
teki gua Sillanang dapat dipetjahkan. Di samping majat jang anti husuk,
ada pula majat manusia jang bisa berdjalan diatas kedua kakinja,
bagaikan orang hidup jang tidak kurang suatu apa. Kalau mau ditjari
djuga perbedaannja, ada, tapi tidak begitu kentara. Konon menurut
Tampubolon, sang majat berdjalan kaku dan agak tersentak-sentak. Dan
dalam perdjalanan itu ia tidak bisa sendirian, harus ditemani oleh satu
orang hidup jang mengawalnja, sampai ketudjuan achir jaitu rumahnja
sendiri. Mengapa harus demikian?
Tjeritanja begini. Orang-orang
Toradja biasa mendjeladjah daerahnja jang bergunung-gunung dan banjak
tjeruk itu hanja dengan berdjalan kaki. Dari zaman purba sampai sekarang
tetap begitu. Mereka tidak mengenal pedati, delman, gerobak atau jang
sematjamnja. Nah dalam perdjalanan jang berat itu kemungkinan djatuh
sakit dan mati selalu ada. Supaja majat tidak sampai ditinggal didaerah
jang tidak dikenal (orang Toradja menghormati roh setiap orang jang
meninggal) dan djug supaja ia tidak menjusahkan manusia lainnja (akan
sangat tidak mungkin menggotong terus-menerus djenazah sepandjang
perdjalanan jang makan waktu berhari-hari), maka dengan satu ilmu gaib,
mungkin sedjenis hipnotisme menurut istilah saman sekarang, majat
diharuskan pulang berdjalan kaki dan baru berhenti bila ia sudah
meletakkan badannja didalam rumahnja sendiri. Dan bajangkan sadja, majat
itu tahu arah djalan, dan tahu jang mana rumahnja! Kendati demikian
masih ada satu pantangan: majat jang berdjalan itu tidak boleh disentuh.
Mungkin kalau disentuh mukdjizat jang menjunglapnja dengan serta merta
hilang. Wallahu'alam.
Keanehan terachir jang tidak begitu
menakdjubkan adalah "ballo" (tuak) jang kalau diminum tidak memabukkan,
betapapun banjak anda meminumnja. Tuak jang diramu dengan sedjenis kulit
kaju ini disamping memanaskan badan djuga menambah tenaga dan
memperpandjang umur. Mungkin benar djuga, karena usia penduduk disana
rata-rata mentjapai 80 sampai 100 tahun. Apakah ballo akan sama
mudjarabnja kalau diminum diluar Toradja, masih belum di tjoba.
Sumber: majalah.tempointeraktif.com
http://torajacybernews.blogspot.com/2010/03/belang-ballo-di-toraja_5925.htmlSumber foto:
Ronald Riso Paonganan
http://www.facebook.com/photo.php?pid=76801&op=1&o=global&view=global&subj=100000704037677&id=100000741301709